RIWAYAT GELAP DIBALIK IDUL ADHA : 360 Kurban, 360 Berhala

Berita

Setiap 10 Dzulhijjah atau bertepatan Idul Adha, umat Muslim dianjurkan menyembelih hewan kurban. Kelak, hewan yang disembelih akan menjadi tunggangan yang menuntunnya ke surga. Demikian disebutkan dalam salah satu sabda Nabi. Dalam syariat Islam, anjuran kurban pertama kali terjadi pada tahun kedua dari hijrah Nabi, bersamaan dengan muasal diberlakukannya shalat ‘Id dan zakat harta (mal). 

Dalam praktiknya, penyembelihan hewan kurban sering dikaitkan dengan peristiwa pengorbanan Ismail ‘alaihissalam yang diyakini bertepatan 10 Dzulhijjah pula. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa dalam kehidupan Bangsa Arab Jahiliah, penyembelihan hewan kurban juga menjadi tradisi religius yang sangat kental. Bahkan sejarawan Islam klasik, Jawwad ‘Ali, dalam karya ensiklopedisnya Al-Mufashshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, menyebutkan bahwa dahulu setiap tahun masyarakat Paganisme menyembelih 360 hewan untuk 360 berhala yang ada di Makkah.

Jika dirunut lebih jauh, sebenarnya tradisi penyembelihan hewan yang dilakukan oleh bangsa Arab Jahiliah berakar dari praktik penyembelihan tebusan yang dilakukan Ibrahim ‘alaihissalam ketika janjinya untuk menyembelih putranya Ismail digugurkan oleh Allah SWT. Sebagai bentuk syukur, Ibrahim menyembelih seekor kambing yang dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaffat ayat 107 dijelaskan sebagai dazbhin ‘adzim atau para ahli tafsir menyebutnya kabsyin ‘adzim (domba besar yang dikirim langsung dari surga).

Atas dasar mengikuti ajaran Nabi Ibrahim, atau yang dalam literatur Islam dikenal dengan dīn ḥanīf (agama yang lurus dan suci), masyarakat Arab Jahiliah berusaha meneruskan tradisi penyembelihan hewan kurban. Praktik ini pada awalnya dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan terhadap keteladanan spiritual Ibrahim, terutama dalam hal ketaatan dan pengorbanan kepada Tuhan yang Maha Esa. Terdapat alasan mendasar mengapa bangsa Arab Jahiliah begitu fanatik terhadap ritual-ritual yang diwariskan oleh Ibrahim.

Dalam keyakinan mereka, Ibrahim tidak sekadar nabi, tetapi juga dianggap sebagai Abū al-‘Arab atau leluhur agung bangsa Arab. Identitas ini memberi kebanggaan kultural dan spiritual tersendiri, sehingga segala peninggalan Ibrahim, termasuk penyembelihan kurban, dijaga dengan penuh penghormatan, meskipun kemudian nilai-nilainya mulai bergeser.

Lebih jauh lagi, banyak di antara mereka yang secara genealogis meyakini diri sebagai bagian dari Arab Musta’rabah, keturunan dari Ismail dan istrinya yang berasal dari suku Jurhum kedua (Jurhum ats-Tsāniyah). Keterikatan nasab ini menambah kuat legitimasi atas praktik-praktik ibadah yang diwariskan Ibrahim.

Seiring waktu, ketika masyarakat semakin menjauh dari ajaran tauhid, makna tradisi penyembelihan mengalami penyimpangan. Awalnya sebagai wujud syukur kepada Allah, praktik ini bergeser menjadi persembahan kepada berhala dan simbol-simbol politeistik. Nilai spiritualnya terkikis, digantikan oleh simbolisme pagan, di mana tempat penyembelihan dikaitkan dengan batu, patung, dan lubang-lubang yang dianggap suci dalam kepercayaan politeistik Arab.  

Dalam banyak literatur sejarah Islam klasik, praktik penyembelihan hewan bangsa Arab Jahiliah ini dipaparkan cukup gamblang. Paparan Jawwad ‘Ali dalam Al-Mufashshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam (karya ensiklopedi sejarah Arab pra-Islam yang ditulis dalam 11 jilid), disebutkan bahwa bangsa Arab setiap tahunnya akan menyembelih sebanyak 360 hewan untuk disajikan kepada 360 berhala yang ada di Ka’bah. Dahulu, Ka’bah adalah pusat ritual bangsa pagan. Banyak berhala diletakkan di sana. Saat penaklukan kota Makkah oleh umat Muslim, semua berhala kemudian dihancurkan.

Setiap berhala mendapat satu hewan kurban. Setelah disembelih, darah hewan tersebut dioleskan pada permukaan batu berhala sebagai simbol persembahan, sementara dagingnya dipotong kecil-kecil lalu ditaruh di atas atau di sekitar berhala tersebut. Praktik ini diyakini sebagai bentuk pendekatan spiritual kepada masing-masing dewa yang bersemayam di balik sosok batu tersebut. Ritual berdarah ini memperlihatkan betapa kuatnya dimensi pemujaan materi dalam kepercayaan politeistik masyarakat Arab sebelum datangnya Islam.

Jika kita perhatikan, angka 360 ini cukup menarik karena mendekati jumlah hari dalam satu tahun menurut sistem kalender kuno (meskipun kurang lima hari). Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah penempatan 360 berhala di sekitar Ka’bah oleh bangsa Arab Jahiliah memiliki kaitan dengan konsep kosmologis atau simbolisme waktu? Wallāhu a’lam. Hal ini memerlukan kajian lebih lanjut.

Pada awal-awal Islam, isu terkait tradisi penyembelihan hewan bangsa Arab Jahiliah masih hangat diperbincangkan. Masyarakat yang baru saja memeluk Islam agaknya masih menyimpan kuat memori kolektif atas tradisi nenek moyang mereka sebelum menjadi Muslim. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika dalam beberapa kesempatan, ketika mereka hendak melaksanakan ibadah kurban, muncul anggapan bahwa cara pelaksanaannya masih sama dengan praktik penyembelihan pada masa Jahiliah.

Maka, di balik gema takbir dan denting pisau kurban setiap Idul Adha, terpantul jejak sejarah panjang antara tauhid dan tradisi, antara kesucian pengorbanan Ibrahim dan distorsi paganisme Jahiliah. Islam datang bukan sekadar memurnikan ritual, tetapi membongkar makna terdalam dari pengabdian. Kini, setiap tetes darah kurban bukan lagi persembahan pada berhala, melainkan simbol ketakwaan menuju ridha Ilahi.

Sumber : nu.or.id, Muhamad Abror, dosen filologi dan sejarah Islam Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan